manusia, bukan cuma lubang.

10/17/2012 11:07:00 PM

[ image: barbara kruger ]

buat saya, seks itu sakral.
dan sekarang tanyakan: bagaimana relasinya hingga seorang laki-laki (ingin) menidurimu?

does your significant other have sex with you, with "you" as a complete human-being or "you" as a mere object of his/her fantasies?

-
seorang kawan pernah bertanya kenapa saya yang sekarang jadi begitu terbuka berbicara soal seks. jawabannya sederhana: sebab saya paham sekarang bahwa seks yang sehat tak seharusnya ditabukan. penabuan terhadap seks sama artinya dengan pembungkaman pemahaman. dan ketidaktahuan apalagi ketidakpahaman sama artinya dengan perbudakan. apatisme sekaligus arogansi yang laten melanggengkan perkosaan. pelanggaran hak manusia yang asasi.

barangkali memang demikian maksudnya dari orang-orang yang lantang dan latah meneriakkan "anti seks-bebas!": ia mendukung seks yang tidak bebas.
tidak bebas, sebab orang dijustifikasikan untuk tidak perlu mengetahui apa-apa tentang seks, tentang tubuhnya, tentang kelaminnya -- tentang haknya sebagai manusia yang utuh; dan sebagaimana masyarakat patriarki ini berkembang: perempuan akhirnya harus menjadi kerbau yang disetir oleh konstruksi sosial untuk terus menurut apa yang hasrat penis laki-laki inginkan.
sebab semakin banyak laki-laki "berhasil" meniduri kekasih/kawan perempuannya, ia disebut jantan; dan perempuan yang ditiduri oleh kekasih/kawan laki-lakinya, ia disebut pelacur, sundal, perek, jablay, dan rentetan diksi yang begitu kreatif (tapi sakit jiwa) yang diciptakan oleh masyarakat yang sinting ini. seks menjadi tak lebih dari sekedar proses penaklukkan.

masyarakat mengkonstruksi perempuan menjadi tak lebih dari sekedar daging dan lubang untuk memuat segala hasrat daging di selangkangannya, bukan menghadirkan perempuan sebagai perempuan yang utuh. pada poin ini saya ingin sekali berkata: maka bisakah kita bilang bahwa lelaki yang demikian tak lebih dari sekedar daging hewani tak berotak yang terjebak di pangkal paha?
dan kesedihan adalah menyaksikan teman-teman perempuan saya begitu menerima konstruksi sosial itu kepada dirinya sendiri tanpa berani mempertanyakan segala pertanggungjawaban humanis di baliknya.

petang tadi saya membaca twit penulis kesukaan saya, ayu utami:
"Seni utk seni? Boleh. Tp saya bukan tipe yg melakukannya. Cukuplah seks utk seks.... Lho. Justru krn seks utk seks, maka dia secukupnya saja, tidak berlebihan."
saya pikir tidak. seks tidak cukup hanya untuk seks.
sebab persis praktik seni hanya untuk seni, ia menjadi begitu kering.
ia menjadi eksistensi yang begitu miskin esensi.

saya jatuh cinta pada manusia. dalam perjalanan saya hingga sekarang, saya percaya bahwa esensi dari eksistensi diri saya sebagai manusia paling banyak berasal dari tanggung jawab saya untuk menghadirkan eksistensi orang lain di sekeliling saya secara menyeluruh: percakapan, pemikiran, kebiasaan, hingga kelalaian adalah unsur-unsur yang begitu unik. kesemuanya membentuk upaya saya dalam memahami & menerima (menghadirkan menyeluruh) keberadaan manusia yang jalan hidupnya dipertemukan dengan jalan hidup saya.

relasi unsur-unsur pembentuk ke-diri-an manusia yang metafisis itu menjadi begitu intim dengan sentuhan-sentuhan: jabat tangan, rangkulan, pelukan, hingga ciuman dan hubungan badan (hingga kelamin). karenanya, hubungan seks adalah momen yang begitu sakral: sebab di dalamnya, dengan segenap perangkat kemanusiaan kita (kesadaraan, perasaan, kehendak, kebebasan, dan tanggung jawab yang mengikutinya) kita menghadirkan eksistensi orang lain secara menyeluruh ke dalam diri kita dalam tahap yang paling tinggi, paling intim, paling istimewa. oleh karenanya ia disebut bersetubuh, setubuh - satu tubuh. yang idea dari rasio dan akal melebur dalam penyatuan medium fisik materiil untuk kepuasaan yang ( mungkin ini berlebihan) romantis. ia menjadi begitu "spiritual".

oleh karenanya, satu-satunya yang tidak bermoral dari seks adalah seks yang terjadi tanpa adanya konsensus antar para individu pelakunya; sebab jika salah satu dari individu yang melakukan seks itu berada dalam momen seks dengan tidak dalam keadaan kesadaran, bukan dengan kehendaknya, bukan dengan kebebasan dan kesadaran tanggung jawabnya, ia telah diperlakukan bukan sebagai manusia oleh si individu yang dengannya hubungan seks berlangsung.
hal ini menjawab mengapa berita-berita tentang perkosaan dan segala jenis pelecehan dan kekerasan seksual dengan segera memeras kelenjar air mata saya, sebab praktik-praktik ketidakmanusiaan menyakitkan hati sampai ke tulang. ini bukan sekedar soal keperawanan yang direnggut, tapi penghargaan diri sebagai seorang manusia utuh yang telah diindahkan sama sekali. pelaku perkosaan adalah rangka dan daging tak berhati dan tak lebih dari itu, sebab terhadap kelaminnya ia hanya berkiblat pada insting seksualnya. akal dan budi-nya telah ia matikan.

karenanya saya percaya, seks tidak bebas nilai.

atau ini hanya pendapat saya saja, sebab orang seharusnya bebas (bebas sebab ia bertanggung jawab, bertanggung jawab sebab ia sadar dan paham apa yang menjadi pilihannya itu) memiliki pandangannya sendiri tentang seks sebagai manusia, selama pilihannya terhadap seks mampu memanusiakan manusia lainnya.

sebab aktivitas seks yang melahirkan manusia ke bumi ini telah terlalu banyak dijadikan dalih untuk tak memanusiakan manusia. atau beberapa manusia ini saja yang membiarkan dirinya berpikir bukan dengan otak dan merasa bukan dengan hati, tapi dengan daging di antara selangkangannya.
tak ada yang mulia dari menghadirkan perempuan tak lebih dari sekedar lubang untuk kepuasaan hasrat penaklukkan. sebab dari rahim mereka, kita sebagai daging dan rangka diharapkan menjadi manusia yang seutuh-utuhnya; dan cara terbaik adalah dengan memanusiakan manusia dalam kadar sesederhana apapun.


2012

You Might Also Like

1 comments

followers

Subscribe